Selasa, 14 Juni 2011

Pemahaman Konselor Terhadap Nilai Norma Sosial

BAB I
PENDAHULUAN
                                                                            
A. Latar Belakang
Dalam layanan bimbingan konseling terdapat landasan yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Landasan ini berfungi sebagai fondasi dalam layanan bimbingan konseling, seperti sebuah bangunan yang memiliki fondasi agar berdiri tegak dan kokoh.
Terdapat lima landasan, dan diantaranya adalah landasan sosial budaya yang membahas pengaruh sosial budaya terhadap individu, hambatan-hambatan komunikasi dan penyesuaian diri sebagai dampak perbedaan antar budaya serta pengaruh perbedaan antar budaya itu terhadap layanan bimbingan dan konseling.
Maka dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pemahaman seorang konselor terhadap pendidikan sosial dan budaya yang erat hubungannya dengan landasan sosial budaya yang terdapat dalam layanan bimbingan koseling itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari pendidikan budaya?
2. Bagaimana bentuk budaya yang ada di sekolah?
3. Bagaimana pemahaman individu terhadap nilai norma sosial?
4. Bagaimana pemahaman seorang konselor terhadap nilai norma sosial?

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan bagaimana pemahaman seorang konselor terhadap pendidikan sosial dan budaya.



BAB II
PEMBAHASAN


A. Pendidikan Budaya
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. 
Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan kelakuan anak didik. Pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda. Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat.
Kelakuan manusia pada hakekatnya hampir seluruhnya bersifat sosial, yakni dipelajari dalam interaksi dengan manusia lainnya. Hampir segala sesuatu yang kita pelajari merupakan hasil hubungan kita dengan orang lain di rumah, sekolah, tempat permainan, pekerjaan, dan sebagainya. Hubungan antara individu itu bukan sepihak, melainkan timbal balik. Kebudayaan mempengaruhi individu dengan berbagai cara, akan tetapi individu juga mempengaruhi kebudayaan sehingga terjadi perubahan sosial. Latihan yang diterima oleh anggota baru tentang cara-cara hidup suatu masyarakat berkat interaksi dengan lingkungannya disebut pengaruh kebudayaan atas individu.
Kebudayaan dipandang sebagai cara-cara mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Ada masalah yang universal seperti memenuhi  kebutuhan biologis. Namun tiap masyarakat memilih cara yang dianggap paling sesuai sehingga tidak ada dua masyarakat yang sama kebudayaannya.
Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan budaya dan karakter bangsa perlu dikemukakan pengertian istilah budaya, karakter bangsa, dan pendidikan.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. 
Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.

B. Budaya yang ada di Sekolah
Sistem pendidikan mengembangkan pola kelakuan tertentu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dari murid-murid. Kehidupan di sekolah serta norma-norma yang berlaku dapat disebut kebudayaan sekolah. Walaupun kebudayaan sekolah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat luas, namun mempunyai ciri-ciri yang khas sebagai sesuatu “sub-culture”. Sekolah bertugas untuk menyampaikan kebudayaan kepada generasi baru dan karena itu harus selalu memperhatikan masyarakat dan kebudayaan umum. Akan tetapi di sekolah itu sendiri timbul pola-pola kelakuan tertentu. Ini mungkin karena sekolah mempunyai kedudukan yang agak terpisah dari arus umum kebudayaan.
Dalam sub-kebudayaan sekolah juga terjadi oleh sebab sebagian yang cukup besar dari waktu murid terpisah dari kehidupan orang dewasa. Dalam situasi ini dapat berkembang pola kelakuan khas anak muda yang tampak dari pakaian, bahasa, kebiasaan serta upacara-upacara. Sebab lain timbulnya kebudayaan sekolah ialah tugas sekolah yang khas yakni mendidik anak dengan menyampaikan sejumlah pengetahuan, sikap, keterampilan yang sesuai dengan kurikulum dengan metode dan teknik kontrol tertentu yang berlaku di sekolah itu.
Dalam melaksanakan kurikulum berkembang sejumlah pola kelakuan yang khas bagi sekolah yang berbeda dengan yang terdapat pada kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Tiap kebudayaan mengandung bentuk kelakuan yang diharapkan  dari anggotanya. Di sekolah diharapkan bentuk kelakuan tertentu dari semua murid dan guru. Itulah yang menjadi norma bagi setiap murid dan guru. Norma ini nyata dalam interaksi guru dan murid, dalam peraturan-peraturan sekolah, dalam tindakan dan hukuman terhadap pelanggaran, juga dalam berbagai kegiatan seperti upacara-upacara. Jadi budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah. Adapun nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang harus diintegrasikan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komuniktif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Sebuah budaya sekolah yang berlangsung di sebuah sekolah bisa saja diterapkan di sekolah lain, sebaliknya tidak semua hal yang menjadi budaya di sebuah sekolah bisa diaplikasikan disekolah lain. Sebuah budaya sekolah yang bisa dirasakan oleh individu yang ada didalamnya akan menjelma menjadi iklim sekolah yang melingkupi dan menjadi dasar pijakan pengembangan sekolah.



C. Pemahaman Individu Terhadap Nilai Norma Sosial
1. Nilai Sosial
Satu bagian penting dari kebudayaan atau suatu masyarakat adalah nilai sosial. Suatu tindakan dianggap sah, dalam arti secara moral diterima, kalau tindakan tersebut harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat di mana tindakan tersebut dilakukan.  Dalam sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi kasalehan beribadah, maka apabila ada orang yang malas beribadah tentu akan menjadi bahan pergunjingan, cercaan, celaan, cemoohan, atau bahkan makian.  Sebaliknya, kepada orang-orang yang rajin beribadah, dermawan, dan seterusnya, akan dinilai sebagai orang yang pantas, layak, atau bahkan harus dihormati dan diteladani.
Dalam Kamus Sosiologi yang disusun oleh Soerjono Soekanto disebutkan bahwa nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Horton dan Hunt (1987) menyatakan bahwa nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti apa tidak berarti. Dalam rumusan lain, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu hal, apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, penting atau tidak penting, mulia ataukah hina. Sesuatu itu dapat berupa benda, orang, tindakan, pengalaman, dan seterusnya.
Prof. Notonegoro membedakan nilai menjadi tiga macam, yaitu:
(1) Nilai material, yakni meliputi berbagai konsepsi mengenai segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia,
(2) Nilai vital, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas, dan
(3) Nilai kerohanian, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan rohani manusia: nilai kebenaran, yakni yang bersumber pada akal manusia (cipta), nilai keindahan, yakni yang bersumber pada unsur perasaan (estetika), nilai moral, yakni yang bersumber pada unsur kehendak (karsa), dan nilai keagamaan (religiusitas), yakni nilai yang bersumber pada revelasi (wahyu) dari Tuhan.

Seorang individu mungkin memiliki nilai-nilai yang berbeda, bahkan bertentangan dengan individu-individu lain dalam masyarakatnya. Nilai yang dianut oleh seorang individu dan berbeda dengan nilai yang dianut oleh sebagaian besar anggota masyarakat dapat disebut sebagai nilai individual. Sedangkan nilai-nilai yang dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat disebut nilai sosial.

2. Norma sosial
Kalau nilai merupakan pandangan tentang baik-buruknya sesuatu, maka norma merupakan ukuran yang digunakan oleh masyarakat  apakah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang merupakan tindakan yang wajar dan dapat diterima karena sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat ataukah merupakan tindakan yang menyimpang karena tidak sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat. Norma dibangun di atas nilai sosial, dan norma sosial diciptakan untuk menjaga dan mempertahankan nilai sosial. Pelanggaran terhadap norma akan mendapatkan sanksi dari masyarakat.
Dilihat dari tingkat sanksi atau kekuatan mengikatnya terdapat macam-macam norma sosial,diantaranya :
1.      Tata cara atau usage. Tata cara (usage); merupakan norma dengan sanksi yang sangat ringat terhadap pelanggarnya, misalnya aturan memegang garpu atau sendok ketika makan, cara memegang gelas ketika minum. Pelanggaran atas norma ini hanya dinyatakan tidak sopan.
2.      Kebiasaan (folkways). Kebiasaan (folkways); merupakan cara-cara bertindak yang digemari oleh masyarakat sehingga dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang. Misalnya mengucapkan salam ketika bertemu, membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan kepada orang yang lebih tua, dst.
3.      Tata kelakuan (mores). Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber kepada filsafat, ajaran agama atau ideology yang dianut oleh masyarakat. Pelanggarnya disebut jahat. Contoh: larangan berzina, berjudi, minum minuman keras, penggunaan napza, mencuri, dst.
4.      Adat (customs). Adat merupakan  norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikat, apabila adat  menjadi tertulis ia menjadi hukum adat.
5.      Hukum (law). Hukum merupakan norma berupa aturan tertulis, ketentuan sanksi terhadap siapa saja yang melanggar dirumuskan secara tegas. Berbeda dengan norma-norma yang lain, pelaksanaan norma hukum didukung oleh adanya aparat, sehingga memungkinkan pelaksanaan yang tegas.

Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan ataupun tata kelakuan yang berlaku dalam masyarakat. Di wilayah perdesaan, sejak berbagai siaran dan tayangan telivisi swasta mulai dikenal, perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi pergesaran nilai, misalnya tentang kesopanan. Tayangan-tayangan yang didominasi oleh sinetron-sinetron mutakhir yang acapkali memperlihatkan artis-artis yang berpakaian relatif terbuka, sedikit banyak menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat menjadi semakin longgar. Berbagai kalangan semakin permisif terhadap kaum remaja yang pada mulanya berpakaian normal, menjadi ikut latah berpakaian minim dan terkesan makin berani. Model rambut panjang kehitaman yang dulu menjadi kebanggaan gadis-gadis desa, mungkin sekarang telah dianggap sebagai simbol ketertinggalan. Sebagai gantinya, yang sekarang dianggap trendy dan sesuai dengan konteks zaman sekarang (modern) adalah model rambut pendek dengan warna pirang atau kocoklat-coklatan.  Jadi berubahnya nilai akan berpengaruh terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

D. Pemahaman Seorang Konselor Terhadap Nilai Norma Sosial
Mengacu pada landasan sosial budaya yang terdapat pada layanan bimbingan konseling, konselor seharusnya memahami arti penting akan nilai dan norma sosial yang terkandung dalam sebuah kebudayaan. Kita dilahirkan memiliki kebudayaan, dan kebudayaan setiap orang tidak semuanya sama. MC Daniel memandang setiap anak, sejak lahirnya harus memenuhi tidak hanya tuntutan biologisnya, tetapi juga tuntutan budaya ditempat ia hidup, tuntutan budaya itu menghendaki agar ia mengembangkan tingkah lakunya sehingga sesuai dengan pola-pola yang dapat diterima dalam budaya tersebut. Jadi, bimbingan konseling harus mempertimbangkan aspek sosial budaya dalam pelayanannya agar menghasilkan pelayanan yang lebih efektif. Karena perbedaan dalam latar belakang ras atau etnik, kelas sosial ekonomi dan pola bahasa dapat menimbulkan masalah dalam hubungan konseling.
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial- budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu :
(a) perbedaan bahasa;
(b) komunikasi non-verbal;
(c) stereotipe;
(d) kecenderungan menilai; dan
(e) kecemasan.
Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yang berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan budaya diartikan sebagai suatu usaha secara sadar dan sistematis untuk menegmbangkan potensi/kemampuan peserta didik dalam keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan.
Untuk itu sekolah atau seluruh warga sekolah diharapkan menerapkan kebudayaan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari di lingkungan sekolah. Itulah yang menjadi norma bagi setiap murid dan guru. Norma ini nyata dalam interaksi guru dan murid, dalam peraturan-peraturan sekolah, dalam tindakan dan hukuman terhadap pelanggaran, juga dalam berbagai kegiatan seperti upacara-upacara.
Sementara konselor menjadikan kebudayaan sebagai landasan/acuan dalam menjalankan layanan bimbingan konseling.

B. Saran
Demikian makalah kami mengenai “Pemahaman Konselor Terhadap Pendidikan, Sosial dan Budaya”. Semoga makalah yang kami buat ini bermanfaat bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan atau kesalahan dalam penulisan, untuk itu kami mohon kritik dan saran yang dapat membangun kami. Sehingga pada makalah yang berikutnya bisa lebih baik dari sekarang. Akhir kata, kami ucapakan terima kasih.



DAFTAR PUSTAKA


1. S, Nasution. Sosiologi Pendidikan. 1983. Bandung: Penerbit Jemmars.
2. Ramon, Sumarsi. Sosiologi dan Antropologi. 1985. Surabaya: Sinar Wijaya.
4. http://agsasman3yk.wordpress.com/2009/09/01/nilai-dan-norma-sosial/

Kamis, 26 Mei 2011

KODE ETIK KONSELOR INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

Dasar/Landasan
Landasan Kode Etik Konselor adalah (a) Pancasila, mengingat bahwa profesi konseling merupakan usaha layanan terhadap sesama manusia dalam rangka ikut membina warga negara yang bertanggung jawab. (b) tuntutan profesi, mengacu kepada kebutuhan dan kebahagiaan klien sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

BAB II

KUALIFIKASI DAN KEGIATAN PROFESIONAL KONSELOR

A.    Kualifikasi
Konselor harus memiliki (1) nilai, sikap, ketrampilan dan pengetahuan dalam bidang profesi konseling, dan (2) pengakuan atas kewenangannya sebagai konselor.

B.    Kegiatan Profesional Konselor
1.    Nilai, sikap, ketrampilan dan pengetahuan

  • a.    Agar dapat memahami orang lain dengan sebaik-baiknya, konselor harus terus menerus berusaha menguasai dirinya. Ia harus mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangka-prasangka pada dirinya sendiri yang dapat mempengaruhi  hubungannya dengan orang lain dan mengakibatkan rendahnya mutu layanan profesional seerta merugikan klien.
  • b.    Dalam melakukan tugasnya membantu klien, konselor harus memperlihatkan sifat-sifat sederhana, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercayajujur, tertib, dan hormat.
  • c.     Konselor harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap saran ataupun peringatan yang diberikan kepadanya, khususnya dari rekan-rekan seprofesi dalam hubungannya dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tingkah laku profesional sebagaimana diatur dalam Kode Etik ini.
  • d.    Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus mengusahakan mutu kerja yang setinggi mungkin. Untuk itu ia harus tampil menggunakan teknik-teknik dan prosedur-prosedur khusus yang dikembangkan atas dasar kaidah-kaidah ilmiah.

2.    Pengakuan kewenangan
Untuk dapat bekerja sebagai konselor, diperlukan pengakuan, keahlian, kewenangan oleh organisasi profesi atas dasar wewenang yang diberikan kepadanya oleh pemerintah.

3.    Kegiatan Profesional
  • a.    Penyimpanan dan penggunaan informasi
  • Catatan tentang diri klien yang meliputi data hasil wawancara, testing, surat-menyurat, perekaman, dan data lain, semua merupakan informasi yang bersifat rahasia dan hanya boleh digunakan untuk kepentingan klien. Penggunaan data/informasi untuk keperluan riset atau pendidikan calon konselor dimungkinkan sepanjang identitas dirahasiakan. Penyampaian informasi mengenai klien kepada keluarga atau kepada anggota profesi lain, membutuhkan perseetujuan klien atau yang lain dapat dibenarkan asalkan untuk kepentingan klien dan tidak merugikan klien.
  • b.    Keterangan mengenai mengenai bahan profesional hanya boleh diberikan kepada orang yang berwenang menafsirkan dan menggunakannya.
  • c.    Kewajiban konselor untuk menangani klien berlangsung selama ada kesempatan antara klien dengan konselor. Kewajiban berakhir jika hubungan konseling berakhir, klien mengakhiri hubungan kerja atau konselor tidak lagi bertugas sebagai konselor.

4.    Testing
  • a.    Suatu jenis tes hanya diberikan oleh petugas yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya. Konselor harus selalu memeriksa dirinya apakah ia mempunyai wewenang yang dimaksud.
  • b.    Testing diperlukan bila dibutuhkan data tentang sifat atau ciri kepribadian yang menuntut adanya perbandingan dengan ssampel yang lebih luas, misalnya taraf intelegensia, minat, bakat khusus, dan kecenderungan dalam pribadi seseorang.
  • c.    Data yang diperlukan dari hasil testing itu harus diintegrasikan dengan informasi lain yang telah diperoleh dari klien sendiri atau dari sumber lain.
  • d.    Data hasil testing harus diperlakukan setaraf data dan informasi lain tentang klien.
  • e.    Konselor harus memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengenai alasan digunakannya tes dan apa hubungannya dengan masalahnya. Hasilnya harus disampaikan dengan klien dengan disertai penjelasan tentang arti dan kegunaannya.
  • f.    Hasil testing hanya dapat diberitahukan kepada pihak lain sejauh pihak lain yang diberitahu itu ada hubungannya dengan usaha bantuan kepada klien dan tidak merugikan klien.
  • g.    Pemberian suatu jenis tes harus mengikuti pedoman atau petunjuk yang berlaku bagi tes yang berlakukan.

5.    Riset
  • a.    Dalam melakukan riset, di mana tersangkut manusia dengan masalahnya sebagai subyek, harus dihindari hal-hal yang dapat merugikan subyek yang bersangkutan.
  • b.    Dalam melakukan hasil riset di mana tersangkut klien sebagai subyek, harus dijaga agar identitas subyek dirahasiakan.

6.    Layanan Individual : Hubungan dengan Klien
  • a.    Konselor harus menghormati harkat pribadi, integritas dan keyakinan klien.
  • b.    Konselor harus menempatkan kliennya di atas kepentingan pribadinya. Demikianpun dia tidak boleh memberikan layanan bantuan di luar bidang pendidikan, pengalaman, dan kemampuan yang dimilikinya.
  • c.    Dalam menjalankan tugasnya, konselor tidak mengadakan pembedaan atas dasar suku, bangsa, warna kulit, kepercayaan atau status sosial ekonomi.
  • d.    Konselor tidak akan memaksa untuk memberikan bantuan kepada seseorang dan tidak boleh mencampuri urusan pribadi orang lain tanpa izin dari orang yang bersangkutan.
  • e.    Konselor boleh memilih siapa yang akan diberi bantuan, akan tetapi dia harus memperhatikan setiap setiap permintaan bantuan, lebih-lebih dalam keadaan darurat atau apabila banya orang yang menghendaki.
  • f.    Kalau konselor sudah turun tangan membantu seseorang, maka dia tidak akan melalaikan klien tersebut, walinya atau orang yang bertanggung jawab padanya.
  • g.    Konselor harus menjelaskan kepada klien sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggung jawab masing-masing, khususnya sejauhmana  dia memikul tanggung jawab terhadap klien.
  • h.    Hubungan konselor mengandung kesetiaan ganda kepada klien, masyarakat, atasan, dan rekan-rekan sejawat. Apabila timbul masalah dalam soal kesetiaan ini, maka harus diperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dan juga tuntutan profesinya sebagai konselor. Dalam hal ini terutama sekali harus diperhatikan ialah kepentingan klien.
  • i.    Apabila timbul masalah antara kesetiaan kepada klien dan lembaga tempat konselor bekerja, maka konselor harus menyampaikan situasinya kepada klien dan atasannya. Dalam hal ini klien harus diminta untuk mengambil keputusan apakah dia ingin meneruskan hubungan konseling dengannya.
  • j.    Konselor tidak akan memberikan bantuan profesional kepada sanak keluarga, teman-teman karibnya, sehingga hubungan profesional dengan orang-orang tersebut mungkin dapat terancam oleh kaburnya peranan masing-masing.
  • k.    Klien sepenuhnya berhak untuk mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai suatu hasil yang kongkrit. Sebaliknya konselor tidak akan melanjutkan hubungan dengan klien apabila klien tidak memperoleh manfaat dari hubungan itu.

7.    Konsultasi dan Hubungan dengan Rekan atau Ahli Lainnya.
  • a.    Dalam rangka pemberian layanan kepada klien, kalau konselor merasa ragu-ragu tentang suatu hal, maka ia harus berkonsultasi dengan rekan-rekan selingkungan profesi. Akan tetapi, untuk itu ia harus mendapat izin terlebih dahulu dari kliennya.
  • b.    Konselor harus mengakhiri hubungan konseling dengan seorang klien bila pada akhirnya dia menyadari tidak dapat memberikan pertolongan kepda klien tersebut, baik karena kurangnya kemampuan/keahlian maupun keterbatasn pribadinya. Dalam hal ini konselor akan mengizinkan klien untuk berkonsultasi dengan petugas atau badan lain yang lebih ahli, atau ia akan mengirimkan kepada orang atau badan ahli tersebut, tetapi harus atas dasar persetujuan klien.
  • c.    Bila pengiriman disetujui klien, maka akan menjadi tanggung jawab konselor untuk menyarankan kepada klien, orang atau badan yang mempunyai keahlian tersebut.
  • d.    Bila konselor berpendapat klien perlu dikirim ke ahli lain, akan tetapi klien menolak kepada ahli yang disarankan oleh konselor, maka konselor mempertimbangkan apa baik buruknya kalau hubungan maru diteruskan lagi.


BAB III

HUBUNGAN KELEMBAGAAN
DAN HAK SERTAKEWAJIBAN KONSELOR

  1. 1.    Jikalau konselor bertindak sebagai konsultan pada suatu keluarga, maka harus ada pengertian dan kesepakatan yang jelas antara dia dengan pihak lembaga dan dengan klien yang menghubungi konselor di tempat lembaga itu. Sebagai seorang konsultan, konselor tetap mengikuti dasar-dasar pokok profesi dan tidak bekerja atas dasar komersial.
  2. 2.    Prinsip-prinsip yang berlaku dalam layanan individual, khususnya tentang penyimpangan serta penyebaran informasi tentang klien dan hubungan konfidensial antara konselor dengan kien, berlaku juga bila konselor bekerja dalam hubungan kelembagaan.
  3. 3.    Setiap konselor yang bekerja dalam hubungan kelembagaan turut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan kerjasama dengan pihak atasan atau bawahannya, terutama dalam rangka layanan konseling dengan menjaga rahasia pribadi yang dipercayakan kepadanya.
  4. 4.    Peraturan-peraturan kelembagaan yang diikuti oleh semua petugas dalam lembaga harus dianggap mencerminkan kebijaksanaan lembaga itu dan bukan pertimbangan pribadi. Konselor harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada atasannya. Sebaliknya dia berhak pula mendapat perlindungan dari lembaga itu dalam menjalankan profesinya.
  5. 5.    Setiap konselor yang menjadi staf sutau lembaga harus mengetahui tentang program-program yang berorientasi pada kegiatan-kegiatan dari lembaga itu dari pihak lain. Pekerjaan konselor harus dianggap sebagai sumbangan khas dalam mencapai tujuan lembaga tersebut.
  6. 6.    Jika dalam rangka pekerjaan dalam suatu lembaga, konselor tidak cocok dengan ketentuan-ketentuan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berlaku di lembaga tersebut, maka dia harus mengundurkan diri dari lembaga tersebut.
  7. 7.    Konselor yang tidak bekerja dalam hubungan kelembagaan diharapkan mentaati kode etik jalannya sebagai konselor dan berhak untuk mendapat dukungan serta perlindungan dari rekan-rekan seprofesi.
  8. 8.    Kalau konselor merasa perlu untuk melaporkan sesuatu hal tentang klien kepada pihak lain (misalnya pimpinan badan tempat ia bekerja), atau kalau ia diminta keterangan tentang klien oleh petugas suatu badan di luar profesinya, dan ia harus juga memberikan informasi itu, maka dalam memberikan informasi tersebut harus sebijaksana mungkin dengan berpedoman pada pegangan bahwa dengan berbuat begitu klien tetap dilindungi dan tidak dirugikan.
  9. 9.    Konselor tidak dibenarkan menyalahgunakan jabatannya untuk maksud mencari keuntungan pribadi atau maksud-maksud lain yang dapat merugikan klien, atau menerima komisi atau balas jasa dalam bentuk yang kurang wajar.
  10. 10.    Konselor harus selalu mengkaji tingkah laku dan perbuatannya apakah tidak melanggar kode etik ini.


ABKIN  
PERSONALITY GURU PEMBIMBING

Modal dasar sebagai ciri personal yang harus dimiliki oleh guru pembimbing diantaranya adalah :

1.    Berwawasan luas
Memiliki pandangan dan pengetahuan yang luas terutama tentang perkembangan peserta didik pada usia sekolahnya, perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi/kesenian dan proses pembelajarannya, serta pengaruh lingkungan dan modernisasi terhadap peserta didik.

2.    Menyayangi anak
Memiliki kasih sayang yang mendalam terhadap peserta didik, rasa kasih sayan ini ditampilkan oleh guru pembimbing benar-benar dari hati sanubarinya (tidak berpura-pura atau dibuat-buat) sehingga peserta didik secara langsung merasakan kasih sayang itu.

3.    Sabar dan bijaksana
Tidak mudah marah dan/atau mengambil tindakan keras dan emosional yang merugikan peserta didik serta tidak sesuai dengan kepentingan perkembangan mereka. Segala tindakan yang diambil oleh guru pembimbing didasarkan pada pertimbangan yang matang.

4.    Lembut dan baik hati
Tutur kata dan tindakan guru pembimbing selalu mengenakkan hati, hangat dan suka menolong.

5.    Tekun dan teliti
Guru pembimbing stia mengikuti tingkah laku dan perkembangan peserta didik sehari-hari dari waktu ke waktu, dengan memperhatikan berbagai aspek yang menyertai tingkah dan perkembangan tersebut.

6.    Menjadi contoh
Tingkah laku, pemikiran, pendapat, dan ucapan-ucapan guru pembimbing tidak tercela dan mampu menarik peserta didik untuk mengikutinya dengan senang hati dan suka rela.

7.    Tanggap dan mampu mengambil tindakan
Guru pembimbing cepat memberikan perhatian terhadap yang terjadi dan/atau mungkin terjadi pada diri peserta didik, serta mengambil tindakan secara tepat untuk mengatasi dan/atau mengantisipasi yang akan terjadi dan/atau mungkin terjadi.

8.    Memahami dan bersikap positif terhadap pelayanan bimbingan dan konseling.
Guru pembimbing memahami fungsi dan tujuan serta seluk beluk pelayanan bimbingan dan konseling, dan dengan senang hati berusaha sekuat tenaga melaksanakannya secara profesional sesuai dengan kepentingan dan perkembangan peserta didik.

9.    Mempunyai modal profesional.
Mencakup kemantapan wawasan, pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap dalam bidang kajian bimbingan dan konseling. Semuanya itu dapat diperoleh melalui pendidikan da/atau pelatihan khusus dalam programm bimbingan dan konseling. Dengan modal profesional tersebut, seorang guru pembimbing akan mampu secara nyata melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling menurut kaidah-kaidah keilmuannya, teknologinya, dan kode etik profesionalnya.


ABKIN

KOMPETENSI GURU PEMBIMBING/KONSELOR SEKOLAH

I.    KOMPETENSI PERSONAL
  1. 1.    Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  2. 2.    Menghayati kode etik dan proses pengambilan keputusan secara etis.
  3. 3.    Menampilkan rasa hormat terhadap keragaman individu.
  4. 4.    Menampilkan struktur nilai dan sistem keyakinan pribadi.
  5. 5.    Menampilkan keterbukaan, fleksibilitas, sikap mengasihi, dan toleran di dalam melakukan interaksi profesional yang mengarah kepada pertumbuhan dan perkembangan diri sendiri dan orang lain.
  6. 6.    Menampilkan arah diri dan otonomi kedirian yang mantap.
  7. 7.    Bertindak secara konsisten dengan sistem nilai etis pribadi dan kode etik profesional di dalam hubungan profesionalnya.
  8. 8.    Menunjukkan penampilan diri yang menarik.
  9. 9.    Mempu menyesuaikan diri secara adekuat.
  10. 10.    Memiliki kepercayaan dan keyakinan diri untuk bisa memberikan layanan bantuan.
  11. 11.    Memiliki keikhlasan dalam menyelenggarakan pelayanan.

II.    KOMPETENSI KEILMUAN

Wawasan Kependidikan dan Profesi
  1. 1.    Memiliki wawasan pedagogis dalam melaksanakan layanan profesional konseling.
  2. 2.    Memahami dengan baik landasasn-landasan keilmuan bimbingan dan konseling.
  3. 3.    Menghayati kode etik dan proses pengambilan keputusan secara etis.
  4. 4.    Mengetahui dengan baik standar dan prosedur legal yang relevan dengan setting kerjanya.
  5. 5.    Aktif melakukan kolaborasi profesional dan mempelajari literaturnya.
  6. 6.    Menunjukkan komitmen dan dedikasi pengembangan profesional dalam berbagai setting dan kegiatan.
  7. 7.    Menampilkan sikap open minded dan profesional dalam menghadapi permasalahan klien.
  8. 8.    Memantapkan prioritas (bidang layanan) profesionalnya.
  9. 9.    Mengorganisasikan kegiatan sebagai wujud prioritas profesionalnya.
  10. 10.    Merumuskan perannya sendiri sesuai dengan setting dan situasi kerja yang dihadapi.
  11. Pemahaman individu dalam membangun interaksi efektif
  12. 11.    Memahami teori-teori perkembangan manusia.
  13. 12.     Mengidentifikasi komponen primer nilai-nilai orang lain.
  14. 13.    Memilahkan/membedakan wilayah struktur nilai pribadi yang tidak sejalan dengan struktur nilai kelompok yant teridentifikasi.
  15. 14.    Merespon dan berinteraksi dengan orang lain atas dasar kesadaran pikiran serta perasaan sendiri, keterbuakaan, kepekaan terhadap pikiran dan orang lain.
  16. Konseling
  17. 15.    Menghayati dan menerapkan teori kkonseling yang telah mepribadi
  18. 16.    Mengembangkan kerangka pikir manusia efektif sejalan dengan kerangka pikir profesionalnya.
  19. 17.    Menunjukkan kecakapan mengkaji hubungan antara teori konseling, kepribadian, belajar dan asesmen psikologis.
  20. 18.    Menguasai berbgai metode dan rasionel untuk mengawali proses konseling yang sesuai dengan kepedulian klien.
  21. 19.    Menyadari berbagai variabel kepribadian dirinya yang mempengaruhi proses konseling.
  22. 20.    Mengkomunikasikan kepada klien tentang masalah perkembangan perilaku.
  23. 21.    Mendiskripsikan proses konseling yang dapat dipahami klien.
  24. 22.    Menyatakan kembali masalah klien dalam cara yang akurat dan dapat diterima klien.
  25. 23.    Memilih dan melakukan kemungkinan tindakan berikut dalam menghadapi klien :
  26.     Melanjutkan dan memilih strategi konseling tertentu.
  27.     Merujuk kepada sumber-sumber nonkonseling.
  28.     Merujuk kepada konselor lain.
  29.     Mengakhiri konseling.
  30. 24.    Menerapkan prinsip-prinsip belajar dalam mengembangkan situasi belajar untuk klien tertentu.
  31. 25.    Menunjukkan arah tindakan dalam menghadapi masalah resistensi, permusuhan, dependensi, keengganan klien.
  32. 26.    Menerapkan gaya konseling yang menyenangkan dalam menghadapi klien tertentu.
  33. 27.    Mempertahankan pendekatan konseling pilihannya atas dasar pengalaman dan pengetahuannya sendiri.
  34. 28.    Merespon secara tepat ekspresi perasaan klien.
  35. Konteks multikultural dalam konseling
  36. 29.    Memahami dan menyadari kekuatan konteks kultural dalam proses konseling.
  37. 30.    Mengidentifikasi dinamika psikologis (motivasi, kecemasan, orientasi nilai) dalam berbagai kontkeks subkultural.
  38. 31.    Mendeskripsikan dinamika sosiologis dalam berbagai konteks subkultural (keluarga, tradisi, bahasa, agama).
  39. 32.    Mengokohkan hubunga antar pribadi secara profesional dalam berbagai konteks subkultural.
  40. 33.    Memahami implikasi isu-isu sosial masa kini terhadap klien.
  41. 34.    Menampilkan sikap open minded dan profesional dalam menghadapi kepedulian dan konflik sosial.
  42. 35.    Mengintervensi sistem sosial dalam perannya sebagai agen perubahan.
  43. 36.    Menunjukkan kesadaran akan pengaruh faktor gender dalam pelayanan profesionalnya.
  44. 37.    Secara kritis menguji kekuatan dan kelemahan teknik dan metode konseling yang dilakukannya.
  45. 38.    Menyadari kesulitan dalam menghasapi isu-isu sosial.
  46. Asesmen lingkungan
  47. 39.    Terampil menghimpun, dan menganalisi data/informasi individu.
  48. 40.    Mengakses faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap perkembangan kesehatan mental.
  49. 41.    Memberi pengaruh terhadap kebijakan dan prosedur kelembagaan yang dapat menumbuhkna kesempatan bagi para anggotanya.
  50. 42.    Memahami organisasi formal dan informal dalam berbagai pola sistem sosial.
  51. 43.    Mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan sistem sosial yang perlu diperbaiki.
  52. 44.    Mendeskripsikan hal-hal perkembangan yang relevan dengan masalah konseling individu.
  53. 45.    Mendeskripsikan dampak interaktif berbagai masalah perkembangan di dalam proses kelompok.
  54. Asesmen individual
  55. 46.    Mengidentifikasi secara tepat kriteria dan sumber instrumen asesmen untuk pengukuran kelompok dan individual.
  56. 47.    Mengidentifikasi tes bakat, prestasi, kepribadian yang cocok untuk kepentingan sekolah dan lembaga lain sesuai dengan individu atau populasi yang akan dilayani.
  57. 48.    Mengembangkan instrumen asesmen untuk kepentingan pemahaman individu dalam konteks layanan bimbingan dan konseling.
  58. 49.    Menampilakn kecakapan mengadministrasikan instrumen tes baku sesuai dengan standar pelaksanaan tes.
  59. 50.    Menganalisis, mengorganisasikan, dan mensintesiskan hasil tes yang diperoleh dari tes baku baik secara verbal maupun tertulis.
  60. 51.    Mengaitkan hasil tes dengan tujuan, aspirasi, kecakapan dalingkungan klien.
  61. 52.    Menghimpin dan mensintesiskan informasi klien dengan menggunakan teknik asesmen nontes.
  62. Proses dan strategi kelompok
  63. 53.    Menampilkan respon berikut terhadap :
  64.     Pemahaman empatik terhadap ekspresi maslah perasaan anggota.
  65.     Meningkatkan kesadaran anggota akan perasaannya dan bagaimana perasaan itu mempengaruhi perilakunya.
  66.     Meningkatkan pemahaman anggota akan keadaan perasaan saat ini.
  67. 54.    Menampilkan ketepatan mengambil resiko sebagai pimpinan dan anggota kelompok dalam kelompok tertentu.
  68. 55.    Menganalisis aspek-aspek nonteknis proses kelompok dalam merespon keingintahuan anggota.
  69. 56.    Melakukan kegiatan konseling kelompok untuk menyampaikan informasi pribadi, pendidikan dan pekerjaa.
  70. 57.    Menilai secara kritis akan kekuatan dan kelemahan kepemimpinannya sendiri atas kelompok yang dibimbingnya.
  71. 58.    Memilih dan mempertahankan strategi intervensi kelompok yang dipilihnya.
  72. 59.    Mefasilitasi pertumbuhan pengambilan keputusan karir dalam berbagai kelompok usia dengan menyediakan informasi karir dan menerapkan teori perkembangan manusia.
  73. 60.    Memahami hakikat masalah ketrampilan belajar dan mengembangkan strategi yang tepat untuk penyembuhan dan pencegahan.
  74. Layanan konsultasi dan mediasi
  75. 61.    Mendeskripsikan perilaku situasi konsultasi yang tepat dan memadai.
  76. 62.    Menyatakan rambu-rambu hubungan konsultatif.
  77. 63.    Melaporkan situasi dengan tingkatan pihak-pihak yang berkonsultasi.
  78. 64.     Menjelaskan metode atau prosedur untuk tindak lanjut perannya sebagai penyedia layanan konsultasi.
  79. Riset dan konseling
  80. 65.    Mengidentifikasi rujukan yang bersumber pada hasil riset.
  81. 66.    Menganalisis hasil riset konseling, mengkaji hipotesis, keterbatasan dan kesimpulannya.
  82. 67.    Merancang riset, melaksanakan dan menggunakan hasilnya.
  83. 68.    Mengidentifikasi wilayah profesi konseling yang memerlukan riset untuk mendalaminya.
  84. 69.    Mengembangkan satu atau dua alternatif rancangan riset yang akan diterapkan dalam pemecahan masalah.
  85. 70.    Mengembangkan strategi riset-riset yang relevan untuk pengembangan diri, profesi, dan keberfungsian peran.
  86. 71.    Menterjemahkan/memanfaatkan hasil riset kedalam implikasi “praktis”.
  87. Pemanfaatan teknologi informasi dalam konseling
  88. 72.    Memanfaatkan teknologi informasi sebagai sumber informasi bagi pengembangan diri dan kemampuan profesional.
  89. 73.    Terampil menggunakan perangkat teknologi informasi untuk layanan bimbingan dan konseling.
  90. 74.    Memanfaatkan teknologi informasi untuk layanan dan pengembangan profesionalnya dengan berpegang kepada standar etik.
  91. 75.    Mengkomunikasikan prosedur dan langkah kerja yang dipilihnya kepada klien atau populasi layanannya.
  92. Manajemen dan sistem pendukung
  93. 76.    Mampu merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan menindaklanjuti layanan bimbingan dan konseling.
  94. 77.    Mengorganisasikan dan mengalokasikan sumber daya (resources) bagi perkembangan individu.
  95. 78.    Merancang program pembelajaran dan pelatihan staf.
  96. 79.    Terampil mengajar dan melatih staf lain dalam konteks layanan profesinya.
  97. 80.    Mensupervisi dan mengevaluasi program pengajaran/pelatihan.
  98. 81.    Mampu memenej pekerjaan dan prosedur kerja.
  99. 82.    Mensupervisi dan mengevaluasi program layanan bimbingan dan konseling.
  100. 83.    Melaporkan proses dan layanan bimbingan dan konseling.

III.    KOMPETENSI SOSIAL

  1. 1.    Berkomunikasi efektif dalam interaksi dengan pihak terkait dengan layanan bimbingan dan konseling.
  2. 2.    Mengembangkan interaksi produktif.
  3. 3.    Mengembangkan, mengokohkan dan memelihara hubungan kolaboratif dengan pihak terkait dengan layanan bimbingan dan konseling.
  4. 4.    Memiliki kemampuan memahami orang lain.
  5. 5.    Mengembangkan hubungan dan jaringan kerja (net work) dengan berbgai pihak terkait.
  6. 6.    Memanifestasikan kepekaan dan toleransi terhadap perasaan manusia dalam berbagai setting interaksi.

Template by:

Free Blog Templates